Minggu, 22 April 2012

SALMAN AL-FARISI



SALMAN AL-FARISI

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.

Ketika masih kecil dia sudah tertarik kepada agama kristen,kemudian meninggalkan rumah kedua orang tuanya untuk mengikuti seorang rahib kristen.sebelum itu dia beragama majusi.setelah masuk kristen,dalam perjalananya menuju syria,dia mengikut  dan belajar pada beberapa orang guru. Dari syria dia meneruskan perjalanannya ke wadi al qura di arab tengah,dalam rangka mencari seorang Nabi yang telah diberitakan telah memperbaiki agama nabi Ibrahim AS,dan kedatangannya telah diramalkan kepadanya oleh gurunya yang terakhir pada waktu menjelang akhir hayat sang guru.

ISLAMNYA SALMAN AL-FARISI

Dari Abdullah bin Abbas Radliyallahu ‘Anhuma berkata, “Salman al-Farisi Radliyallahu ‘Anhu menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, “Aku seorang Ielaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.

Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang berlanggung jawabatas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam. Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi kesana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.

Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).

Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?

Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hari, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’ Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini? Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku.

Sementara aku tidak niengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi? Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari lempat itu sampai matahari terbenam,’

Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.

Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampai kan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.

Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’ Maka aku pun tinggal bersamanya.

Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sede-kah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk menge-bumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebe-narnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk diri­nya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’

Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’ Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.

Kemudian mereka mengangkat orang lain scbagai peng-gantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintai-nya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.

Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu Iihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perin-tahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku. Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masya-rakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’

Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’

Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewa­siatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai. anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperli aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku. Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.

Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewa-siatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’

Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.

Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku un­tuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu ter-dapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’ Kemudian orang ini pun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.

Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka. Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi. Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi, Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.

Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, kepo-nakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. la mem-beliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebut-kan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.

Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah men-dengar ceritanya karena kesibukanku scbagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku be-kerja di pcrkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan, Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’

Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’

Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ”Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. ‘Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’

Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’

Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepa-da engkau.’

Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pembe-rianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘lnilah tanda ke nabi an yang kedua.’
Selanjulnya aku menemui beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang dise-butkan Si Fulan kepadaku.

Pada saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.

Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagai-mana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang hams aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seo-rang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.

Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berang-katlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletak-kannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberitahukan perihalku, Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.

Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari ram-pasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebus-anmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.’ (HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabranl dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa’ad dalam ath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.)


SALMAN DAN PERANG KHANDAQ.

Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.

Pada saat serangan dari kaum Quraisy itu datang, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu anhu! Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu anhu tersebut.

Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Taala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka … dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit …

Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman radhiyallahu anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman radhiyallahu anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti….

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu anhu, sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertakbir sabdanya:
Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shana, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya …. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Salman radhiyallahu anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shana, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah …

ZUHUD ,  BERILMU  DAN  BERBUDI  PEKERTI  LUHUR

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: "Salman radhiyallahu anhu dari golongan kami". Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: "Tidak, ia dari golongan kami!" Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.

Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu anhu mendapat kehormatan seperti itu …!
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menggelari Salman radhiyallahu anhu dengan "Luqmanul Hakim". Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: "Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering".

Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: "Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu anhu!" Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya …

Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu anhu hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu; kemudian di masa Amirul Muminin Umar radhiyallahu anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu anhu, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.

Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.

Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu …?

Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.

Nah, itulah dia Salman radhiyallahu anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: "Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.

Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!"

Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar radhiyallahu anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.

Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.. .? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?

Katanya: "Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang manusia –, maka lakukanlah!" Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?

Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: "Tunjangan Salman radhiyallahu anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (abaah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya".

Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih.

Saad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu anhu menangis. "Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah",) tanya Saad, "padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada anda?" "Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu anhu, "daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya"

Kata Saad: "Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!" Maka ujamya: "Wahai Saad!
Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian".

Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu anhu mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.

Salman radhiyallahu anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros …. Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?

Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu anhu menurut dengan patuh. "Tolong bawakan barangku ini!", kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: "Juga kepada amir, kami ucapkan salam" "Juga kepada amir?" Amir mana yang mereka maksudkan?" tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: "Berikanlah kepada kami wahai amir!"

Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!

Suatu ketika Salman radhiyallahu anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: "Karena manis wahtu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!"
Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: "Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus"

Apa sebenarnya yang kita sebut "rumah" itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai "rumah" itu, Salman radhiyallahu anhu bertanya kepada tukangnya: "Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?" Kebetulan tukang bangunan ini seorang arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: "Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya". "Benar", ujar Salman radhiyallahu anhu, "seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!"

Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.

Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu anhu kepada isterinya: "Percikkanlah air ini ke sekelilingku … Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah) yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: "Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh isterinya.

Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya … Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ….

Diolah dari : (HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabranl dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa’ad dalam ath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.) & sumber-sumber lainnya.,.,


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More